Astronomi? Apa yang anda bayangkan jika mendengar
istilah tersebut? Seringkali pemahaman
masyarakat indonesia mengenai apa itu astronomi justru melenceng jauh. Bagi kebanyakan
masyarakat indonesia, istilah astronomi sering disamakan dengan istilah
astrologi yang merupakan ilmu yang membahas mengenai masalah perbintangan.
Pemahaman bahwa astronomi sama dengan astrologi masih kuat melekat didalam
benak sebagian masyarakat Indonesia. Pemahaman lain yang timbul dan berkembang
di masyarakat adalah mengenai pakar astronomi yang selalu di identikkan dengan
seorang astronot, padahal secara kenyataan dua hal ini sangat berbeda. Pemahaman
masyarakat ini timbul akibat adanya ketidakmengertian masyarakat mengenai
hakikat astronomi yang sebenarnya serta apa yang dipelajari didalamnya.
Pada dasarnya astronomi secara umum merupakan sains
yang menggunakan unsur matematika dan fisika, sehingga astronomi sering
dikaitkan dengan perhitungan dan rumus-rumus yang rumit serta membingungkan. Akibatnya
masyarakat beranggapan bahwa astronomi merupakan ilmu yang membosankan sehingga
menjadikan astronomi ini kurang begitu diminati oleh masyarakat Indonesia. Penyebab
lain adalah astronomi bukan merupakan ilmu yang berhubungan langsung dengan kehidupan
masyarakat Indonesia dan tidak bisa dijadikan sebagai acuan seperti ilmu-ilmu
lain contohnya ilmu kedokteran, ilmu ekonomi maupun ilmu sosial yang sering
dijadikan sebagai pilihan yang umum oleh masyarakat Indonesia.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, ternyata astronomi memiliki
hubungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari. Astronomi merupakan salah satu
cabang dari ilmu fisika yang melibatkan pengamatan benda-benda langit seperti
halnya bintang, planet, komet maupun galaksi. Serta mengenai fenomen-fenomena
alam yang terjadi diluar atmosfir bumi, misalnya radiasi latar belakang kosmik
(radiasi CMB). Secara pokok, astronomi ini mempelajari pelbagai sisi dari
benda-benda langit seperti asal-usul baik sifat fisika/kimia, meterologi, gerak
dan bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut serta menjelaskan proses
bagaiamana pembentukan dan perkembangan alam semesta. Berdasakan penjelasan ini
tentu kita mengetahui bahwa astronomi tidak hanya menjelaskan mengenai
masalah perbintangan saja, tapi mencakup segala sesuatu yang ada di dalam alam
semesta yang berhubungan dengan manusia dan kehidupannya.
Disini ruang lingkup astronomi begitu luas dan tidak
hanya berada pada lingkup satu negara melainkan untuk seluruh masyarakat
diseluruh belahan dunia. Di Indonesia sendiri, penerapan astronomi telah ada
sejak berabad-abad silam. Tahukah
anda bagaimana cara nenek moyang kita menggunakan sistem penanggalan? Atau bagaimana
cara nenek moyang kita menentukan musim kemarau, hujan maupun musim panen? Dan
tentunya yang tidak kalah penting adalah bagaimana cara nenek moyang kita bisa
mengarungi lautan yang begitu luas? Apakah mereka menggunakan peralatan canggih
seperti yang kita gunakan pada saat ini? Jawabannya tentu tidak.
Di
indonesia saat belum adanya sistem penanggalan seperti sekarang, masyarakat
setempat menggunakan hasil dari pengamatan gerak langit, dalam hal ini tentunya adalah gerak
matahari dan bulan. Namun, sistem penanggalan yang dilakukan pada jaman dahulu
masih belum secanggih seperti yang dilakukan pada masa sekarang. Setiap
kegiatan yang dilakukan, nenek moyang kita menggunakan peredaran gerak benda
langit untuk, seperti halnya menentukan musim tanam dan musim panen, bahkan
upacara keagamaan serta ritual kepercayaan yang ada pada masa itu juga menggunakan peredaran gerak benda
langit sebagai acuan. Megutip sebuah lagu yang berjudul “Nenek Moyangku Seorang
Pelaut”, disini terlihat bahwa nenek moyang kita dahulunya adalah seorang
pelaut ulung yang gemar mengarungi samudra luas. Untuk mengarungi samudra yang
sedemikian luasnya, para nenek moyang kita pasti membutuhkan penunjuk arah,
lalu apakah yang digunakan nenek moyang kita pada masa dahulu? Apakah GPS
ataukah Google Earth? Jawabannya tentu bukanlah GPS, Google Earth maupun peralatan
canggih-canggih lain yang ada pada masa sekarang melainkan rasi-rasi bintang
yang mempunyai arti berbeda-beda sesuai dengan bentuk yang ditampilkan.
Penguasaan
nenek moyang terhadap ilmu astronomi ini ditunjukkan dengan adanya bangunan
candi borobudur. Kemegahan candi borobudur ini tidak hanya menunjukkan
kemampuan rancang bangun nenek moyang bangsa Indonesia yang mengagumkan.
Penempatan stupa terawang maupun relief yang terdapat di dinding candi
borobudur menunjukkan mereka terhadap astronomi. Penelitian selama 2,5 tahun
yang dilakukan Tim Arkeo-astronomi Borobudur, Institut Teknologi Bandung,
menunjukkan, stupa utama candi Buddha terbesar di dunia itu berfungsi sebagai gnomon
(alat penanda waktu) yang memanfaatkan bayangan sinar Matahari. Ketua Tim
Arkeoastronomi ITB Irma Indriana Hariawang mengatakan bahwa Jatuhnya bayangan
stupa utama pada puncak stupa terawang tertentu pada tingkatan tertentu
menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai Pránatamangsa (sistem
perhitungan musim Jawa). Dosen Astronomi ITB yang juga anggota Tim
Arkeoastronomi Borobudur ITB, Ferry M Simatupang mengatakan, sekitar tahun 800
masehi saat Borobudur dibangun, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mampu
menentukan arah utara-selatan dengan benar menggunakan teknik bayangan
Matahari. Sejumlah relief di
Candi Borobudur juga menunjukkan kemampuan nenek moyang bangsa Indonesia dalam
penguasaan ilmu astronomi. Hal itu, menurut Irma, salah satunya ditunjukkan
dengan gambar perahu-perahu pelaut berbagai ukuran di dinding candi. Untuk
mampu mengarungi lautan, dibutuhkan kemampuan navigasi (menentukan arah) yang
panduan utamanya bintang-bintang di langit.
Dengan
melihat kehidupan nenek moyang kita di masa lampau, mengapa bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia, astronomi tampak begitu asing? Sudah seharusnya
masyarakat Indonesia menyadari bahwa sebenarnya astronomi ini sangat dekat
dengan kehidupan mereka. Sehingga diperlukan upaya dari pihak-pihak tertentu
untuk mengakrabkan astronomi pada masyarakat khususnya masyarakat awam. Seperti
yang dilakukan oleh peneliti astrofisika dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin. Tulisannya yang mendalam mengenai
astronomi, bisa dibuat sesederhana mungkin sehingga ilmu yang dianggap rumit
itu bisa dipahami orang awam. Selain itu, upaya pemerintah juga diperlukan
dalam menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan astronomi karena
selama ini Indonesia hanya memiliki sedikit sekali fasilitas pendukung kegiatan
astronomi. Hampir semua kegiatan astronomi terpusat di Observatorium Bosscha
dan Planetarium Jakarta. Pakar astronomi dan pemerintah juga dapat bekerja sama
dengan memanfaatkan segala macam bentuk media yang tersedia sehingga keinginan
adanya majalah dan buletin astronomi bukan hanya
sekedar mimpi.
Jika kita ingin menjadi negara maju, kita seharusnya
tidak terpukau pada ilmu-ilmu yang sedang populer tapi kita juga perlu
mempelajari mengenai alam dan seisinya agar kita sadar bahwa masih banyak hal
yang luar biasa yang harus diketahui. Akankah semua itu dapat terwujud? Hanya
dengan semangat dari pihak-pihak terkait seperti pakar astronomi, pemerintah
dan masyarakat, kemungkinan cita-cita untuk mengakrabkan astronomi pada
masyarakat dapat terwujudkan. Bukankah kita harus tetap harus optimis menyikapi
segala tantangan? Yuk, mari belajar astronomi !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar